Sukses dalam tugas pertamanya, Sintong langsung mendapat serentetan tugas yang sama sekali belum pernah dijalaninya. Berbekal keberanian dan tekad yang memang bercita-cita menjadi tentara, Sintong berhasil menyelesaikan semua tugas yang dibebankan kepadanya.
Debut terbaik Sintong yaitu pembebasan pesawat 'WOYLA' milik Garuda yang dibawa pembajak ke Bangkok. Sintong terlebih dahulu mendalami struktur tubuh pesawat, dan kemudian merancang metode pelumpuhan pembajak. Bersama anak buahnya, Sintong melakukan latihan di Jakarta, beberapa jam sebelum diberangkatkan ke Bangkok. Dalam waktu 3 menit, Sintong dan anak buahnya berhasil mengambil alih pesawat, melumpuhkan semua pembajak tanpa ada sandera (penumpang pesawat) yang terluka.
Atas keberhasilan tersebut, Indonesia mendapat perhatian dunia. Sintong dan Presiden banyak menerima ucapan selamat. Dalam menjalankan tugasnya, Sintong juga berhasil melakukan operasi teritorial di beberapa daerah seperti Papua dan Timor-Timur. Operasi teritorial merupakan pendekatan kepada masyarakat sekitar. Bergabung dengan masyarakat, membangun jalan, perumahan masyarakat, tempat ibadah, dan keperluan umum lainnya. Dengan cara demikian, masyarakat memandang positif kedatangan TNI di daerah mereka, dan secara bersama-sama ikut serta menumpas para pengacau seperti gerakan yang menginginkan kemerdekaan Papua dan Timor-Timur.
Debut lainnya, Sintong berhasil melakukan reorganisasi pada beberapa instansi yang dipercayakan untuk dipimpin olehnya. Reorganisasi pertama Sintong adalah Kopassus, dari 640-an anggota menjadi 300 orang. Dengan jumlah lebih sedikit, kemampuan Kopassus dikenal semakin baik baik di Indonesia maupun oleh internasional.
Namun setelah Kopassus dipimpin Prabowo, jumlah anggotanya kembali 640-an bahkan selanjutnya menjadi 12.000-an anggota. Petualangan Sintong dan rombongannya dalam operasi kemanusiaan di lembah yang belum terjamah oleh manusia, menjadi pengalaman tersendiri bagi mereka. Lembah yang selanjutnya dinamai Lembah X dan Lembah Y tersebut dihuni masyarakat pedalaman yang kemudian bersahabat dengan rombongan yang dipimpin Sintong. Sesuai dengan 'selera' pendekatan ala Sintong, pemimpin tersebut dengan cepat dapat berbaur dengan penduduk Lembah X.
Sintong mempelajari tata hidup mereka, bahkan mengerti bahasa yang mereka gunakan. Tidak heran kalau selanjutnya banyak masyarakat yang ingin agara Sintong tidak pergi dari daerah mereka. Hal itu terjadi di Lembah X, Papua, bahkan Timor-Timur.
Pada tanggal 12 November 1991 di Dili, Timor-Timur terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh pendukung Xanana. Demonstrasi tersebut, yang dianggap TNI tidak akan berlaku brutal, ternyata terencana. Para demonstran yang jumlahnya kurang lebih 3500 orang, bersenjatakan granat dan parang.
Anggota TNI yang tidak diperkenankan menggunakan senjata (pistol), menjadi keyakinan tersendiri bagi demonstran untuk tetap maju melawan TNI. Pada saat bentrokan terjadi, terdengar tembakan pistol diantara kerumunan orang. Suara tembakan tersebut memicu anggota TNI untuk menembak para demonstran. Akhir dari insiden tersebut, beberapa demonstran meninggal dunia dan banyak yang luka-luka.
Keberhasilan Sintong dan Komandan Pangkolakops (kalau saya tidak salah ingat/tulis) dalam menjalankan operasi teritorial di Timor-Timur, tidak lagi mempunyai arti setelah peristiwa 12 November 1991 di Dili. Dunia internasional mengecam peristiwa berdarah tersebut. Bahkan Sintong yang sedang mengambil kuliah di Boston University, untuk kemudian dilanjutkan ke Harvard University, mendapat surat pemanggilan dari pengadilan HAM Inggris.
Pemanggilan tersebut berdasarkan pelaporan warga Malaysia (Ibu) dan Selandia Baru (Ayah) atas kematian anaknya di Dili. Sintong yang dianggap penjahat kemanusiaan oleh Internasional, tidak pernah dibela oleh Indonesia. Akhirnya Sintong tidak melanjutkan kuliahnya di Boston maupun Harvard, dan kembali ke Indonesia, karena pengeksekusian pengadilan Inggris tersebut tidak berlaku di Indonesia.
Terkait kontroversi dengan Prabowo Subianto semasa menjelang Pemilu 2009, dalam buku ini disebutkan bahwa Prabowo yang merupakan menantu Soeharto, melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan di kalangan TNI. Namun perbuatan Prabowo yang paling diherankan yaitu, Prabowo menuduh Jend. Moerdani akan melakukan kudeta terhadap Soeharto.
Prabowo pun menyuruh anak buahnya dalam keadaan siap. Namun selanjutnya, atasan langsung Prabowo, Luhut Pandjaitan, mengatakan Moerdani tidak akan melakukan kudeta sehingga keadaan aman dan anak buahnya dibubarkan. Sejak dari 'insiden' tuduhan tersebut, hubungan Prabowo terbilang tidak lagi dekat dengan beberapa anggota TNI, termasuk Moerdani, Sintong dan Luhut Pandjaitan. Selanjutnya Prabowo dikenal sebagai TNI yang melakukan berbagai tindakan terkait urusan politik.
Dalam buku ini terdapat banyak kesalahan pengetikan, baik salah urutan kata, penggunaan tanda baca seperti titik atau koma, maupun konsistensi penulisan. Misal: penulisan peristiwi PKI, terdapat tiga versi, yakni G-30S/PKI, G30S/PKI, dan Gerakan 30 September/PKI. Karena banyaknya kesalahan penulisan tersebut, mulai dari hal. 84 saya memegang pensil dan kemudian mencoret sekaligus membubuhkan kata yang benar. Saya juga menambahkan penomoran, sehingga tercatat 161 kesalahan penulisan, mulai dari hal 84 sampai akhir.
Tentunya jumlah tersebut akan bertambah jika diperiksa lagi dari halaman pertama. Semoga bisa menjadi masukan bagi para penulis atau penerbit, karena kesalahan tersebut sangat mengganggu pemahaman pembaca akan ilmu yang tertuang pada buku. Kesalahan pengetikan itu juga yang membuat saya hanya memberikan dua bintang sebagai rating buku ini. Informasi yang tertuang sebenarnya sangat banyak. Recommended bagi kawula muda yang ingin menjadi TNI. Jadilah TNI yang cerdik dan berpendidikan, seperti Bapak Sintong Pandjaitan.
Aku belum baca bukunya sampai habis. Tapi menurutku, buku ini agak aneh. Editingnya payah untuk ukuran penerbit Kompas. Entah karena penulisnya seorang wartawan foto dan bukan wartawan tulis. Jadi gaya penulisannya atau bertuturnya agak aneh.
Mungkin aku terlalu membandingkan dengan Julius Pour yang menulis LB Moerdany atau Ramadhan KH yang menulis 'Soeharto, pikiran, ucapan.' Masih banyak typo error yg lolos.
Penyusunan Bab masih tidak mengikuti perjalanan karir tokoh yang ditulis. Banyak pengulangan-pengulangan yang terjadi. Bukan sekedar satu kalimat, bahkan kadang satu paragraf. Meski dengan kekurangan itu, buku ini bercerita banyak mengenai apa yang sebelumnya belum pernah diceritakan mengenai TNI/ABRI. Sempat melirik bab-bab akhir, buku ini malah menceritakan orang lain, yaitu Luhut Panjaitan. Sangat tidak sesuai dengan judulnya Yang menjadi pertanyaan, apakah penerbitan buku ini ada hubungan dengan Pemilu?
Biar waktu yang bicara. Buku Sintong Panjaitan yang diluncurkan 11 Maret 2009 memuat penggalan perjalanan karir militernya selama kurang lebih 28 tahun sebagai prajurit. Sejarah menempatkan penugasan Sintong Panjaitan berada pada beberapa kesempatan dimana dia ikut sebagai pelaku sejarah. Sejak lulus sebagai perwira muda dari AMN tahun 1963, ia ditugaskan dibeberapa pos beresiko berat. Sebagai prajurit, ia melaksanakan tugasnya dengan prestasi nyaris tanpa cacat.
Dari keberhasilan demi keberhasilan, menjadikan ia terpilih menempati posisi yang kemudian hari menjadikan ia sebagai prajurit profesional yang dikagumi sekaligus disegani. Jabatan dan prestasi yang diperolehnya membuka peluang yang sangat besar untuk meraih posisi tertinggi di militer. Akan tetapi prestasi gemilang sering mempunyai 'dua sisi' yang berbeda. Sisi pertama memungkinkan ia menapaki karir tertinggi, sisi kedua, kecemerlangan juga bisa menimbulkan 'gangguan' bagi yang tidak menyukainya. Agaknya sisi kedua lah yang menimpa Sintong Panjaitan, sehingga ia terpaksa berhenti ketika karir militernya sedang menanjak. Buku perjalanan karir Sintong Panjaitan yang ditulis oleh wartawan senior Hendro Subroto, mencatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Buku itu bukan meupakan biografi, bukan pula otobiografi.
Agaknya buku itu ditulis berdasarkan catatan Hendro Subroto sendiri, ditambah dengan penjelasan dari Sintong Panjaitan. Buku ini ditulis oleh Hendro Subroto, seorang wartawan perang TVRI, yang dalam berbagai penugasannya sebagai wartawan, sering menyaksikan dan meliput kejadian penting dimana Sintong Panjaitan ikut berperan.
Sebagai buku, apa yang ditulis Hendro Subroto, sebenarnya tidak terlalu istimewa. Beberapa bagian ditulis agak mendetail, tetapi dibagian lain, informasi yang disajikan kurang informatif. Derajat kedetailan antara bagian yang satu dengan bagian lain tidak sama. Bisa jadi Hendro Subroto, sebelum menulis buku, tidak dapat mengumpulkan data secara lengkap. Hal itu bisa difahami, karena untuk mendapatkan data detail dari instansi militer tidaklah mudah. Secara struktur buku tersebut juga terkesan 'memaksakan' eksklusifisme dengan menempatkan kejadian pada bulan Mei 1998 pada Bab-1.
![Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando Pdf Download Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando Pdf Download](/uploads/1/2/3/8/123820247/960602609.jpg)
Lalu kemudian diikuti dengan bab-2 yang memulai catatan latar belakang kehidupan pribadi Sintong panjaitan sebelum menjadi tentara. Yang terasa lebih mengganggu adalah, banyaknya 'salah ketik' yang terjadi terutama pada bab-1. Buku ini semakin lengkap dengan kata pengantar yang sangat berbobot dari Prof. Taufik Abdullah. Review lanjutan ada di: (Baca lagi0. Buku tentang perjalanan seorang Sintong Panjaitan ini menarik utk disimak, teristimewa pada momentum menjelang pilpres. Melalui bahasa penulis, Sintong Panjaitan memaparkan sejumlah peristiwa yang selama ini menjadi tanda tanya bagi publik.
Daya tarik pertama diberikan dengan paparan kerusuhan Mei 1998 pada bab I. Sintong bertutur tentang Wiranto, Luhut, Benny Moerdani, Prabowo, dan tokoh2 militer lain dalam aneka peristiwa. Mulai dari kerusuhan Mei, aneka penumpasan pemberontakan, isu counter kudeta Benny, hingga kerusuhan st.cruz yang menggencet karir militernya. Wiranto dan Prabowo yang kini mencalonkan diri sebagai capres akan sedikit 'terganggu'. Sekalipun mereka barangkali punya versi cerita lain, atau alasan, atau apa pun itu.dan sekalipun sidang pembaca dapat berpendapat bahwa baik versi Sintong, Wiranto, maupun Prabowo sama-sama tidak lepas dari subyektivitas.namun satu hal yang dpt dipetik dari paparan cerita adalah bahwa ada 'sesuatu' yang kurang beres dengan mereka. Bagi publik, paparan kejadian dalam buku ini menguak apa yang benar terjadi. Bagaimana dan mengapa itu terjadi sering tidak penting diperhatikan.
Yang jelas, kerusuhan Mei (e.g) terjadi, dan sejumlah tokoh yang mencalonkan diri sebagai capres sekarang tidak mampu, mungkin juga tidak mau, mencegah dan atau mengatasinya. Buku ini, terlepas dari motif penulisnya, terkesan tergesa-gesa penerbitannya. Hal itu tampak dari tertemukannya banyak sekali kesalahan editing; hal yang tidak lumrah untuk buku-buku terbitan Kompas-Gramedia.
Sukses dalam tugas pertamanya, Sintong langsung mendapat serentetan tugas yang sama sekali belum pernah dijalaninya. Berbekal keberanian dan tekad yang memang bercita-cita menjadi tentara, Sintong berhasil menyelesaikan semua tugas yang dibebankan kepadanya. Debut terbaik Sintong yaitu pembebasan pesawat 'WOYLA' milik Garuda yang dibawa pembajak ke Bangkok.
Sintong terlebih dahulu mendalami struktur tubuh pesawat, dan kemudian merancang metode pelumpuhan pembajak. Bersama anak buahnya, Sintong melakukan latihan di Jakarta, beberapa jam sebelum diberangkatkan ke Bangkok. Dalam waktu 3 menit, Sintong dan anak buahnya berhasil mengambil alih pesawat, melumpuhkan semua pembajak tanpa ada sandera (penumpang pesawat) yang terluka. Atas keberhasilan tersebut, Indonesia mendapat perhatian dunia. Sintong dan Presiden banyak menerima ucapan selamat.
Dalam menjalankan tugasnya, Sintong juga berhasil melakukan operasi teritorial di beberapa daerah seperti Papua dan Timor-Timur. Operasi teritorial merupakan pendekatan kepada masyarakat sekitar. Bergabung dengan masyarakat, membangun jalan, perumahan masyarakat, tempat ibadah, dan keperluan umum lainnya. Dengan cara demikian, masyarakat memandang positif kedatangan TNI di daerah mereka, dan secara bersama-sama ikut serta menumpas para pengacau seperti gerakan yang menginginkan kemerdekaan Papua dan Timor-Timur. Debut lainnya, Sintong berhasil melakukan reorganisasi pada beberapa instansi yang dipercayakan untuk dipimpin olehnya.
Reorganisasi pertama Sintong adalah Kopassus, dari 640-an anggota menjadi 300 orang. Dengan jumlah lebih sedikit, kemampuan Kopassus dikenal semakin baik baik di Indonesia maupun oleh internasional. Namun setelah Kopassus dipimpin Prabowo, jumlah anggotanya kembali 640-an bahkan selanjutnya menjadi 12.000-an anggota. Petualangan Sintong dan rombongannya dalam operasi kemanusiaan di lembah yang belum terjamah oleh manusia, menjadi pengalaman tersendiri bagi mereka.
Lembah yang selanjutnya dinamai Lembah X dan Lembah Y tersebut dihuni masyarakat pedalaman yang kemudian bersahabat dengan rombongan yang dipimpin Sintong. Sesuai dengan 'selera' pendekatan ala Sintong, pemimpin tersebut dengan cepat dapat berbaur dengan penduduk Lembah X.
Sintong mempelajari tata hidup mereka, bahkan mengerti bahasa yang mereka gunakan. Tidak heran kalau selanjutnya banyak masyarakat yang ingin agara Sintong tidak pergi dari daerah mereka. Hal itu terjadi di Lembah X, Papua, bahkan Timor-Timur. Pada tanggal 12 November 1991 di Dili, Timor-Timur terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh pendukung Xanana. Demonstrasi tersebut, yang dianggap TNI tidak akan berlaku brutal, ternyata terencana.
Para demonstran yang jumlahnya kurang lebih 3500 orang, bersenjatakan granat dan parang. Anggota TNI yang tidak diperkenankan menggunakan senjata (pistol), menjadi keyakinan tersendiri bagi demonstran untuk tetap maju melawan TNI. Pada saat bentrokan terjadi, terdengar tembakan pistol diantara kerumunan orang. Suara tembakan tersebut memicu anggota TNI untuk menembak para demonstran. Akhir dari insiden tersebut, beberapa demonstran meninggal dunia dan banyak yang luka-luka. Keberhasilan Sintong dan Komandan Pangkolakops (kalau saya tidak salah ingat/tulis) dalam menjalankan operasi teritorial di Timor-Timur, tidak lagi mempunyai arti setelah peristiwa 12 November 1991 di Dili.
Dunia internasional mengecam peristiwa berdarah tersebut. Bahkan Sintong yang sedang mengambil kuliah di Boston University, untuk kemudian dilanjutkan ke Harvard University, mendapat surat pemanggilan dari pengadilan HAM Inggris.
Pemanggilan tersebut berdasarkan pelaporan warga Malaysia (Ibu) dan Selandia Baru (Ayah) atas kematian anaknya di Dili. Sintong yang dianggap penjahat kemanusiaan oleh Internasional, tidak pernah dibela oleh Indonesia. Akhirnya Sintong tidak melanjutkan kuliahnya di Boston maupun Harvard, dan kembali ke Indonesia, karena pengeksekusian pengadilan Inggris tersebut tidak berlaku di Indonesia. Terkait kontroversi dengan Prabowo Subianto semasa menjelang Pemilu 2009, dalam buku ini disebutkan bahwa Prabowo yang merupakan menantu Soeharto, melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan di kalangan TNI. Namun perbuatan Prabowo yang paling diherankan yaitu, Prabowo menuduh Jend.
Moerdani akan melakukan kudeta terhadap Soeharto. Prabowo pun menyuruh anak buahnya dalam keadaan siap. Namun selanjutnya, atasan langsung Prabowo, Luhut Pandjaitan, mengatakan Moerdani tidak akan melakukan kudeta sehingga keadaan aman dan anak buahnya dibubarkan. Sejak dari 'insiden' tuduhan tersebut, hubungan Prabowo terbilang tidak lagi dekat dengan beberapa anggota TNI, termasuk Moerdani, Sintong dan Luhut Pandjaitan. Selanjutnya Prabowo dikenal sebagai TNI yang melakukan berbagai tindakan terkait urusan politik. Dalam buku ini terdapat banyak kesalahan pengetikan, baik salah urutan kata, penggunaan tanda baca seperti titik atau koma, maupun konsistensi penulisan. Misal: penulisan peristiwi PKI, terdapat tiga versi, yakni G-30S/PKI, G30S/PKI, dan Gerakan 30 September/PKI.
Karena banyaknya kesalahan penulisan tersebut, mulai dari hal. 84 saya memegang pensil dan kemudian mencoret sekaligus membubuhkan kata yang benar. Saya juga menambahkan penomoran, sehingga tercatat 161 kesalahan penulisan, mulai dari hal 84 sampai akhir. Tentunya jumlah tersebut akan bertambah jika diperiksa lagi dari halaman pertama. Semoga bisa menjadi masukan bagi para penulis atau penerbit, karena kesalahan tersebut sangat mengganggu pemahaman pembaca akan ilmu yang tertuang pada buku. Kesalahan pengetikan itu juga yang membuat saya hanya memberikan dua bintang sebagai rating buku ini.
Informasi yang tertuang sebenarnya sangat banyak. Recommended bagi kawula muda yang ingin menjadi TNI. Jadilah TNI yang cerdik dan berpendidikan, seperti Bapak Sintong Pandjaitan. Aku belum baca bukunya sampai habis.
Tapi menurutku, buku ini agak aneh. Editingnya payah untuk ukuran penerbit Kompas. Entah karena penulisnya seorang wartawan foto dan bukan wartawan tulis.
Jadi gaya penulisannya atau bertuturnya agak aneh. Mungkin aku terlalu membandingkan dengan Julius Pour yang menulis LB Moerdany atau Ramadhan KH yang menulis 'Soeharto, pikiran, ucapan.' Masih banyak typo error yg lolos.
Penyusunan Bab masih tidak mengikuti perjalanan karir tokoh yang ditulis. Banyak pengulangan-pengulangan yang terjadi. Bukan sekedar satu kalimat, bahkan kadang satu paragraf.
Meski dengan kekurangan itu, buku ini bercerita banyak mengenai apa yang sebelumnya belum pernah diceritakan mengenai TNI/ABRI. Sempat melirik bab-bab akhir, buku ini malah menceritakan orang lain, yaitu Luhut Panjaitan. Sangat tidak sesuai dengan judulnya Yang menjadi pertanyaan, apakah penerbitan buku ini ada hubungan dengan Pemilu? Biar waktu yang bicara. Buku Sintong Panjaitan yang diluncurkan 11 Maret 2009 memuat penggalan perjalanan karir militernya selama kurang lebih 28 tahun sebagai prajurit.
Sejarah menempatkan penugasan Sintong Panjaitan berada pada beberapa kesempatan dimana dia ikut sebagai pelaku sejarah. Sejak lulus sebagai perwira muda dari AMN tahun 1963, ia ditugaskan dibeberapa pos beresiko berat. Sebagai prajurit, ia melaksanakan tugasnya dengan prestasi nyaris tanpa cacat. Dari keberhasilan demi keberhasilan, menjadikan ia terpilih menempati posisi yang kemudian hari menjadikan ia sebagai prajurit profesional yang dikagumi sekaligus disegani. Jabatan dan prestasi yang diperolehnya membuka peluang yang sangat besar untuk meraih posisi tertinggi di militer. Akan tetapi prestasi gemilang sering mempunyai 'dua sisi' yang berbeda.
Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
Sisi pertama memungkinkan ia menapaki karir tertinggi, sisi kedua, kecemerlangan juga bisa menimbulkan 'gangguan' bagi yang tidak menyukainya. Agaknya sisi kedua lah yang menimpa Sintong Panjaitan, sehingga ia terpaksa berhenti ketika karir militernya sedang menanjak. Buku perjalanan karir Sintong Panjaitan yang ditulis oleh wartawan senior Hendro Subroto, mencatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia.
Buku itu bukan meupakan biografi, bukan pula otobiografi. Agaknya buku itu ditulis berdasarkan catatan Hendro Subroto sendiri, ditambah dengan penjelasan dari Sintong Panjaitan. Buku ini ditulis oleh Hendro Subroto, seorang wartawan perang TVRI, yang dalam berbagai penugasannya sebagai wartawan, sering menyaksikan dan meliput kejadian penting dimana Sintong Panjaitan ikut berperan.
Sebagai buku, apa yang ditulis Hendro Subroto, sebenarnya tidak terlalu istimewa. Beberapa bagian ditulis agak mendetail, tetapi dibagian lain, informasi yang disajikan kurang informatif. Derajat kedetailan antara bagian yang satu dengan bagian lain tidak sama. Bisa jadi Hendro Subroto, sebelum menulis buku, tidak dapat mengumpulkan data secara lengkap.
Hal itu bisa difahami, karena untuk mendapatkan data detail dari instansi militer tidaklah mudah. Secara struktur buku tersebut juga terkesan 'memaksakan' eksklusifisme dengan menempatkan kejadian pada bulan Mei 1998 pada Bab-1. Lalu kemudian diikuti dengan bab-2 yang memulai catatan latar belakang kehidupan pribadi Sintong panjaitan sebelum menjadi tentara. Yang terasa lebih mengganggu adalah, banyaknya 'salah ketik' yang terjadi terutama pada bab-1. Buku ini semakin lengkap dengan kata pengantar yang sangat berbobot dari Prof. Taufik Abdullah.
Review lanjutan ada di: (Baca lagi0. Buku tentang perjalanan seorang Sintong Panjaitan ini menarik utk disimak, teristimewa pada momentum menjelang pilpres. Melalui bahasa penulis, Sintong Panjaitan memaparkan sejumlah peristiwa yang selama ini menjadi tanda tanya bagi publik. Daya tarik pertama diberikan dengan paparan kerusuhan Mei 1998 pada bab I.
Sintong bertutur tentang Wiranto, Luhut, Benny Moerdani, Prabowo, dan tokoh2 militer lain dalam aneka peristiwa. Mulai dari kerusuhan Mei, aneka penumpasan pemberontakan, isu counter kudeta Benny, hingga kerusuhan st.cruz yang menggencet karir militernya. Wiranto dan Prabowo yang kini mencalonkan diri sebagai capres akan sedikit 'terganggu'.
Sekalipun mereka barangkali punya versi cerita lain, atau alasan, atau apa pun itu.dan sekalipun sidang pembaca dapat berpendapat bahwa baik versi Sintong, Wiranto, maupun Prabowo sama-sama tidak lepas dari subyektivitas.namun satu hal yang dpt dipetik dari paparan cerita adalah bahwa ada 'sesuatu' yang kurang beres dengan mereka. Bagi publik, paparan kejadian dalam buku ini menguak apa yang benar terjadi. Bagaimana dan mengapa itu terjadi sering tidak penting diperhatikan. Yang jelas, kerusuhan Mei (e.g) terjadi, dan sejumlah tokoh yang mencalonkan diri sebagai capres sekarang tidak mampu, mungkin juga tidak mau, mencegah dan atau mengatasinya. Buku ini, terlepas dari motif penulisnya, terkesan tergesa-gesa penerbitannya.
Hal itu tampak dari tertemukannya banyak sekali kesalahan editing; hal yang tidak lumrah untuk buku-buku terbitan Kompas-Gramedia. Buku ini mengisahkan perjalanan pengalaman Sintong Panjaitan dalam operasi-operasi tempur baik di dalam negeri maupun diluar nnegeri. Salah satu operasi membuat dunia kagum adalah Operasi pembebasan pesawat garuda Woyla yang dibajak dan penumpang disandera di Thailand.
Operasi yang dipimpin oleh Sintong Panjaitan Berhasil melumpuhkan pembajak tanpa ada sabdera yang tewas. Disamping itu banyak operasi didalam negeri yang melibatkan Sintong Panjaitan dan operasi tersebut berhasil seperti Perebutan RRI diJakarta dari PKI, Penumpasa pemberontal Kahar Muzakkar, Operasi penumpasan gerombolan Komunis di Kalimantan Barat, Operasi kemanusiaan di Lembah X dll. Selain Operasi Tempur, dilakukan juga operasi teritorial dalam pemenangan Irian Pepera dan itu berhasil. Buku ini juga mengisahkan perjalanan karir dari Sintong Panjaitan di militer sampai di menjabat Pangdam IX/Udayana.
Dengan karir militer yang bagus seharusnya Sintong Panjaitan bisa menjadi Panglima ABRI saat itu jika tidak ada 'kejadian' di Dili yang dikenal dengan Insiden 12 Nopember 1991. Juga Sintong Panjaitan mengisahkan kejadian sebenarnya pada peristiwa Mei 1998. Basic english grammar 3rd edition cd. Dalam epilognya, Sintong mengatakan 'Tentara tidak boleh terjebak Nepotisme'.